Sabtu, 01 Maret 2008

Partai Politik dan Prospek Demokratisasi


Parpol dan Prospek Demokratisasi di Indonesia[1]
oleh:
Dr Bima Arya Sugiarto[2]


Proses demokratisasi di Indonesia pasca orde baru telah menghasilkan disain sistem politik yang sangat berbeda secara signifikan dengan disain yang dianut selama masa orde baru. Reformasi prosedural dan kelembagaan yang walau dilakukan secara bertahap, telah mengubah landasan berpolitik secara sangat radikal. Sulit untuk ditemukan padanan lain dari kasus negara-negara lain di dunia ini –terutama Negara dengan tingkat kompleksitas permasalahan dan kependudukan seperti Indonesia- ketika dalam waktu yang relatif singkat karakter sistem politik berubah wujud dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya, yaitu dari titik otoritarian ke titik demokrasi liberal. Sistem multipartai yang diterapkan sejak fase awal reformasi kemudian dilanjutkan oleh sejumlah inovasi prosedural lainnya seperti sistem pemilihan presiden langsung, pemilihan kepala daerah langsung dan dibukanya pintu masuk bagi kandidat non partai untuk bertarung dalam pilkada. Terdapat pula kecendrungan bahwa liberalisasi sistem politik ini akan terus bergulir dengan rancangan UU pemilu yang semakin mengarah kepada sistem distrik dan penghapusan nomor urut.
Namun demikian, seiring dengan perubahan-perubahan pada ranah kelembagaan tadi, pesimisme publik terhadap prospek demokratisasi di negeri ini malahan semakin mencolok. Publik mempertontonkan suatu sisnisme yang sangat tajam terhadap sepak terjang para aktor politik. Jika pada fase awal reformasi, fenomena politik di tanah air dicirikan oleh gairah politik publik yang sangat besar terhadap setiap proses politik, seperti pendirian partai dan kampanye pemilu, kini seolah terjadi arus balik dari partisipasi publik. Dari seluruh survey atau jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga, bisa dipastikan bahwa tak ada satupun hasil survey yang menunjukan persepsi publik yang positif terhadap peran parpol misalnya. Seluruh survey menunjukan bahwa parpol hanya dianggap sebagai kendaraan politik belaka dari para aktor politik untuk menuju panggung kekuasaan, ketimbang sebagai lembaga representasi politik yang demokratis.
Makalah ini akan berupaya untuk mengkaji kesenjangan antara proses reformasi kelembagaan dan harapan publik melalui analisis terhadap kiprah partai politik dalam pilkada langsung.

Pilkada dan Demokratisasi Lokal

Pada awalnya, pilkada langsung digulirkan dengan suatu keyakinan kuat baik dari para akademisi maupun politisi bahwa proyek besar demokratisasi di negeri ini harus disokong oleh demokratisasi di tingkat lokal. Untuk itu Pilkada secara langsung adalah jawaban dari kebutuhan untuk mempercepat demokratisasi di tingkat lokal. Diamond (1992) menyatakan bahwa pemerintah di daerah beserta dengan aktor-aktor politik lainnya memiliki peran yang snagat penting dalam untuk akselerasi demokrasi di daerah. Peningkatan kualitas demokrasi di daerah, dianggap akan turut mendorong kemajuan demokratisasi di tingkat nasional. Smith mengajukan sejumlah alasan mengenai pentingnya mendorong demokratisasi di tingkat lokal; Pertama, demokrasi lokal adalah wahana yang paling dekat bagi warga dalam konteks pendidikan politik. Kedua, pemerintah daerah merupakan actor penting yang dapat memainkan fungsi kontrol terhadap pemerintah pusat. Ketiga; tingkat partisipasi politik di daerah kerap kali lebih baik secara kualitatif dan kuantitaif jika dibandingkan dengan tingkat nasional. Keempat, Kinerja dan prestasi pemerintahan di tingkat lokal akan sangat memperkuat legitimasi dan kredibilitas politik dari pemerintah pusat.
Pada perkembangannya, pilkada langsung yang telah dilakukan sejak 2005 di lebih dari 300 kabupaten.kota dan tak kurang dari 20 Provinsi di seluruh Indonesia justru menimbulkan sejumlah persoalan-persoalan baru. Konflik kekerasan, sengketa penghitungan suara, penyalahgunaan wewenang, politik uang dan oligarki partai kemudian tampil sebagai ciri utama dari banyak daerah yang telah melangsungkan pilkada.




Oligarki Partai dan Bandar Politik

Pilkada langsung awalnya diyakini akan mengikis habis praktik oligarki elit partai yang sangat kuat di sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Elit partai memiliki posisi yang sangat menentukan baik dalam tahap pencalonan maupun pemungutan suara. Pada pemilihan melalui DPRD, sudah menjadi rahasia umum bahwa pemenang akan ditentukan oleh besarnya ”jumlah setoran” dari kandidat kepala daerah kepada elit partai (dalam fase pencalonan) dan anggota DPRD (dalam fase pemungutan suara). Jika pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat, maka logika yang kemudian digunakan adalah bahwa ”transaksi” akan langsung terjadi antara kandidat dan rakyat, dan menutup praktik-praktik oligarkis. Namun pada kenyataannya, pilkada langsung ternyata malahan memunculkan sejumlah persoalan-persoalan yang sangat problematik.
Seperti yang terjadi pada era pilkada melalui DPRD, pilkada langsung justru tetap saja menyulut perpecahan internal partai. Pada banyak daerah konflik terjadi karena adanya pembangkangan dari suatu kelompok tertentu dalam partai yang menolak untuk mendukung kandidat yang telah ditetapkan secara resmi oleh partai. Sering juga terjadi kasus ketika kader partai membelot dari partainya untuk kemudian berpasangan dengan kandidat dari partai lain dan bahkan yang bersangkutan menjadi kandidat dari partai lain tersebut. Fenomena ini terjadi karena pada pilkada langsung, faktor popularitas individu menjadi lebih penting ketimbang faktor partai pendukung. Kader-kader partai yang memiliki popularitas yang tinggi di daerah pemilihannya, akan memiliki kepercayaan diri yang sangat besar untuk meraih kemenangan tanpa dukungan partainya.
Hal lain yang sangat mencolok adalah adanya praktik ”jual beli” tiket partai kepada kandidat. Pengurus partai yang memiliki posisi struktural yang strategis kemudian menjadi ’bandar politik’ dan bermain mata dengan para pemodal. Dengan kata lain, hanya kandidat dengan lumbung dana melimpahlah yang akan dijemput oleh para bandar politik di alam partai untuk memasuki kancah kontestasi politik lokal. Menurut informasi yang didapat oleh penulis dari sejumlah kasus pilkada provinsi, harga tiket dari partai bisa mencapai puluhan milyar pada wilayah-wilayah strategis. Dengan demikian, harapan bahwa pilkada langsung akan mengikis praktik oligarki partai menjadi pupus. Hal ini disebabkan karena pada banyak kasus, yang menjadi calon partai adalah bukan kader partai murni, melainkan figur yang memampu menutup biaya kampanye yang tinggi dan menjanjikan patronase politik ekonomi yang menggiurkan kepada pengurus partai. Semakin populernya penggunaan jasa konsultan kampanye dan lembaga survey juga ikut menaikan biaya kampanye ke angka yang cukup fantastis. Sebagai contoh, biaya penyelanggaraan survey atau jajak pendapat awal saja berada ada kisaran angka 200 hingga 500 juta rupiah. Sedangkan umumnya setiap kandidat perlu untuk melakukan beberapa kalai jajak pendapat untuk memonitor tingkat popularitas mereka dikalangan pemilih.
Secara realitas, kandidat tidak mungkin untuk mencukupi pembiayaan pencalonannya seorang diri. Biasanya ia akan mengumpulkan dana dari berbagai pihak sponsor dengan konsesi-konsesi politik-ekonomi yang akan disepakati kemudian. Konsekuensi logis dari pola pendanaan seperti ini tentunya adalah pada derajat independensi sang kepala daerah terpilih terhadap pihak-pihak pemodal. Besar kemungkinan pihak pemodal kemudian akan menjadi pemerintah bayangan dengan ikut menentukan secara informal kebijakan dari kepala daerah terpilih.

Saudagar di Pentas Politik

Liberalisasi yang cukup radikal dari sistem politik Indonesia juga telah mengubah konfigurasi elit pada skala nasional. Politisi dengan latarbelakang pengusaha kini memenuhi struktur kepengurusan partai. Di Partai Golkar, tokoh pengusaha dari Indonesia Timur Jusuf Kalla mengambil alih kendali partai pada kongres 2005. Di partai ini, untuk pertama kalinya seorang politisi berlatar belakang pengusaha, Suryo Paloh, juga dipilih sebagai Ketua Dewan Penasehat. Di Partai Amanat Nasional, posisi ketua umum kini berada di tangan Soetrisno Bachir, pengusaha batik asal pekalongan yang relatif sebelumnya kurang dikenal publik, sedangkan posisi sekjen di pegang oleh Zulkifli Hasan, pengusaha sukses asal Lampung. Posisi sekjen di PDI-P kini juga dipegang oleh Pramono Anung, seorang aktivis politik dengan latar belakang pengusaha di bidang pertambangan.
Studi yang dilakukan mengenai latar belakang anggota parlemen dari tiga partai yaitu Golkar, PDI-P dan PAN memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan prosentasi anggota DPR yang terpilih dari ketiga partai ini yang berlatar belakang pengusaha. (Sugiarto 2006).

Table 1 Latar Belakang Anggota Parlemen 1997-2004

Tabel diatas menunjukan bahwa dalam tiga kali pemilu, yaitu 1997, 1999 dan 2004, politisi berlatarbelakang pengusaha yang terpilih sebagai anggota DPR dari Golkar, PDI-P dan PAN jumlahnya terus meningkat. Jumlah prosentasi penguasaha pada PAN dan PDI-P relatif sama dengan prosentasi peningkatan yang terbesar ada pada PAN. Jika pada Partai Golkar kenaikan jumlah pengusaha diringi oleh penurunan prosentasi dari politisi berlatarbelakang birokrat dan militer, maka pada PDI-P dan PAN, meningkatnya jumlah prosentasi pengusaha terjadi sejalan dengan penurunan prosentasi politisi dengan latar belakang aktivis di ormas atau orsospol.
Studi mengenai latarbelakang politisi yang menempati posisi strategis di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai pada dua partai terbesar di Indonesia, yaitu Partai Golkar dan PDIP pada era reformasi juga menghasilkan temuan serupa. Terjadi peningkatan prosentasi jumlah politisi berlatarbelakang pengusaha yang direkrut oleh ketua umum partai untuk mengendalikan partai.

Table 2 Latar Belakang Pengurus DPP Golkar 2000-2005

Table 3 Latar Belakang Pengurus DPP PDI-P 1998-2005

Pada partai Golkar, kenaikan prosentase politisi dengan latar belakang pengusaha terjadi secara drastis ketika tampuk kepemimpinan partai beralih dari Akbar Tandjung kepada Jusuf Kalla. Sementara dalam kasus PDI-P peningkatan prosentasi pengusaha terjadi relatif secara bertahap sejak tahun 1998. Menariknya, semakin banyaknya pengusaha pada partai ini, juga diringi dengan semakin berkurangnya aktivis partai yang memiliki keterikatan historis dengan partai sebelumnya yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) atau dengan orsospol nasionalis yang dekat dengan PDI seperti GMNI.
Meningkatnya jumlah politisi-pengusaha ini merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi liberal yang kini diadopsi di Indonesia. Pada iklim politik yang kompetitif, diperlukan dana yang tidak sedikit tidak saja untuk kampanye yang sifatnya individual, tetapi juga untuk membiayai pengelolaan rutinitas partai. Ketua umum PAN Soetrisno Bachir secara gamblang bahkan menyatakan bahwa jika saja 10% dari anggota DPP partai berasal dari pengusaha, maka biaya pengelolaan partai otomatis akan tertutup (Sugiarto 2005).
Survey yang dilakukan oleh The lead Institute dan Indobarometer pada bulan July 2007 juga menunjukan bahwa dominasi pengusaha di pentas politik Indonesia ternyata direspon secara negatif oleh publik. Hanya 2,5 % dari responden yang masih melihat pengusaha sebagai kader pemimpin yang ideal. Artinya menguatnya arus pragmatisme politik di partai politik seperti yang dipertontonkan di ajang kongres partai, pilkada maupun di parlemen, dilihat oleh publik sebagai manuver para politisi-pengusaha untuk mengukuhkan jaringan patronase bisnis dan politiknya.
Figure 2J alur Kaderisasi Ideal untuk menjadi Presiden dan Kepala Daerah














Calon Non Partai dalam Pilkada

Keputusan mahkamah konstitusi yang memberikan ruang bagi tampilnya calon non partai dalam pilkada bukanlah semata keputusan hukum yang dihasilkan oleh proses lobby di tingkat elit. Keputusan ini merupakan simbol dari arus besar yang semakin menguat di tengah masyarakat yaitu kekecewaan publik yang sangat besar atas kinerja parpol dan politisi serta kerinduan akan tampilnya pemimpin-pemimpin alternatif, diluar dari tokoh-tokoh yang selama ini dikenal oleh publik.
Namun demikian, adalah suatu kekeliruan jika memandang bahwa kemunculan calon non partai adalah solusi dari segala problem kepemimpinan politik di Indonesia. Ada sejumlah aspek negatif yang harus dihitung dari skenario kemunculan calon non partai pada seluruh proses konstestasi politik di Indonesia. Pertama adalah dikuasainya Jalur non partai oleh kekuatan-kekuatan lama anti demokrasi. Dalam kontestasi politik liberal, figur lama yang telah dikenal publik bukan tidak mungkin mendapat dukungan elektoral yang kuat jika disokong oleh strategi kampanye yang efektif dan pendanaan yang melimpah. Kedua adalah tampilnya figur-figur populer dan karismatis yang miskin kapasitas politik. Ulama karismatik dan tokoh publik seperti artis dan selebriti lainnya walaupun tidak memiliki jam terbang yang cukup dalam hal jabatan publik dan pengelolaan lembaga kenegaraan sangat mungkin dipilih oleh publik karena modal popularitas yang dimiliki.
Aspek negatif ketiga adalah terjadinya migrasi politik dari kader partai untuk berlaga melalui jalur non partai. Skenario ini terjadi ketika kader partai yang gagal memperoleh ’tiket’ resmi partai dalam pilkada memilih untuk melanjutkan karir politiknya melalui jalur non partai. Jika ini terjadi, artinya keyakinan bahwa dibukanya jalur non partai dalam pilkada akan memberikan dampak positif bagi perbaikan sistem kaderisasi internal partai, menjadi tidak tepat.
Aspek negatif seperti yang dipaparkan diatas semestinya dapat diantisipasi melalui rumusan-rumusan yang ditebar di UU politik. Sistem pengaturan dana kampanye yang jelas dengan sangsi pidana yang tegas dan bukan hanya sekedar administratif, dapat mengurangi kemungkinan terjadinya praktik ”pencucian uang” dari pengusaha-pengusaha hitam melalui calon non partai pada ajang pilkada. Aturan yang ketat mengenai kriteria non partai atau independen akan mencegah kecendrungan migrasi politik kader partai. Perlu untuk dirumuskan aturan yang mensyaratkan bahwa calon non partai adalah bukan pengurus atau anggota partai dalam periode setidaknya satu tahun sebelum pencalonan diri.. Kampanye publik atau edukasi pemilih yang gencar mengenai pentingnya para pemilih untuk mempelajari jejak rekam kandidat sebeluym menjatuhkan pilihan politiknya juga merupakan salah satu metode untuk mendorong publik memilih pemimpin yang berkualitas.


[1] Disampaikan dalam Training “School of Democracy: Nurcholish Madjid dan Demokrasi Indonesia” di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan 12-13 Desember 2007.
[2] Direktur Eksekutif The Lead Institute Universitas Paramadina.
Bima Arya Sugiarto
Curriculum Vitae


Place and Date of Birth
Bogor 17 December 1972

Current Ocupation
Lecturer and researcher, Department of International Relations, Paramadina University Jakarta
Executive Director, the Lead Institute, Paramadina University.
Office Address & Telephone
Gatot Subroto Kav 96-97, Mampang Jakarta 12700.
T +62 21 79181188
F +62 21 7993375
Home Address & Telephone
Baranangsiang Indah H:2 no 6 Bogor, Jawa Barat.
H 0251-330687
M 081510700000
Email
: bima_arya@yahoo.com
: bima.sugiarto@paramadina.ac.id





Education

Degree
Field of Study
University
Year Completed
Thesis
Bachelor of Arts
International Relations
Parahyangan University, Bandung
1996
Indonesian Foreign Policy towards the Settlement of Disputes in South China Sea
Master of Arts
Development Studies
Monash University, Melbourne
1998
The 1998 Student Movement in Indonesia
Doctor of Philosophy
Political Science & International Relations
The Australian National University, Canberra
2006
Beyond Formal Politics: Party Factionalism, Leadership & Democratization in Post Authoritarian Indonesia



Subjects Specialization

· Introduction to Politics: the basic concept in politics, political parties, governmental system, election system etc.
· Theories of Political Development: political development issues in new democracies.
· Theories of Politics: the classical thought of politics, a contemporary world political ideology, etc.
· Indonesian Political System: political institution in Indonesia, political parties, military in Indonesian politics and the development of democracy in Indonesia.
· Political Communication: Political communication theories and trends, political socialization, new media and politics, election and political campaigning
· Political Sociology: a sociological perspective of political activities.
· Negotiation and Conflict Resolution: Conflicts behavior, theories of conflict resolution, the skill of negotiators.
· Diplomacy: The history of diplomacy in International relations, Indonesian diplomacy, domestic politics and diplomacy.


Work Experience

1998-2001 Lecturer and Researcher at the Department of International Relations Department, Parahyangan University Bandung.
1998-2001 Researcher at PACIS (Parahyangan Center for International Studies).
1998-2001 Part time lecturer at Maranatha University Bandung
2001 Lecturer and Researcher at Department of International Relations Paramadina University Jakarta.
2001-2002 Editor, Jurnal Paramadina University.
2001-2002 Asistant to Deputy Rector for Student Affairs, Paramadina University.
2001 Associate Researcher CPPS Paramadina (Center for Presidential and Parliamentary Studies)
2004 Research Fellow at Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta.
2004-2006 Research Assistant, Department of Political and Social Change, The Research School for Pacific and Asian Studies, The Australian National University.
Juli 2007, Visiting Fellow at Department of Social and Political Change, Australian National University .
2006- Executive Director the Lead Institute, Universitas Paramadina.
Consultant, Partnership for Governance Reform (Kemitraan). September 2007-November 2007).





Organizational Experience

1992-1993 Vice President, The Association of International Relations Student, Parahyangan University Bandung
1993, Chairman of Student Senate, Faculty of Social and Political Science, Parahyangan University
1993 Delegation to the National Convention of International Relations Students, Jayabaya University, Jakarta.
1993 Member of Working Group of FKMHII (Indonesian International Relations Students Forum / Forum Komunikasi Mahasiswa Hubungan Internasional se Indonesia)
1994 Chairman of International Relations Expo Committee, Bandung
1994 Delegation to the National Convention of International Relations Students, Jember University.
1995 Chairman of the Organizing Commitee, The VII National Congress of Indonesian International Relations Students, Bandung.
1997-1998 Research and Development Department, Indonesian Student Association of Australia (PPIA) branch Monash University.
1998 Spoke Person of Komite Mahasiswa Victoria Untuk Reformasi.
1999-2001 Director of SMART (Solidaritas Masyarakat Anti Narkotika, People Solidarity for Anti Drugs Campaign) Bandung.
2002-2004 President of Indonesian Student Association (PPI) of Australia.
2004-2006 Board of Advisor, PPI Australia


Conferences Presentation

1. Indonesia

· “Auditing Democracy”, in a seminar organized by Faculty of Social and Political Science, Parahyangan University, November 1999.
· “Updating Political Issues Approaching 1999 election”, in a public discussion organized by Partai Amanat Nasional, Bandung 1999.
· ‘Kaum Muda dan Problem Sosial”, in a seminar organized by Muhamadiyah Students Association, Bandung March 2000.
· “Indonesia at the Crossroads: Separatism, Nationalism and Disintegration” in, a seminar organized by Unit for Society Studies (USIK), Bandung 1999.
· “Global Dimension of Local Conflict in Indonesia”,in a seminar organized by KSMPMI Bandung 2000.
· “Building a Strong Local Civil Society “ in a seminar organized by PACIS, Bandung 2000.
· “Menata Ulang Lembaga Kepresidenan”in a seminar organized by CPPS (Centre for Presidential and Parliamentary Studies Paramadina, Medan October 2001.
· ”Prinsip-Prinsip Lembaga Kepresidenan Republik Indonesia” in a seminar organized by CPPS Paramadina and Partnership for Governance Reform, 30 January 2002.
· “Menuju Institusionalisasi Politik”, in a seminar oraganized by CPPS Paramadina & Partnership for Governance Reform, January 2002.
· “Islam VS West: Discourse or Reality ?, in a seminar organized by KSMPMI Bandung, May 2002
· “Kaum Muda dan Pemilu 2004”, in a seminar organized by, KNPI Padang, Sumatera Barat, January 2004
· “Prediksi Hasil Pemilu 2004” in a seminar organized by Faculty of Law Pakuan University Bogor, August 2004.
· “The Role of New Generation in The Asia Pacific Region” in a Conference organized by IRINYI , Hotel Borobudur Jakarta September 2004.
· “Evaluasi Politik Akhir Tahun”, in a seminar organized by Yayasan Paramadina 21 Desember 2006.
· ”Mampukah Orang Muda Memimpin Jakarta?” organized by The Lead Institute, Universitas Paramadina 27 Januari 2007
· “Konsolidasi Demokrasi di Indonesia : Demokrasi Semu di Wilayah Abu-abu”, in a public discussion organized by Forum Muda Paramadina February 2007
· “Pesantren dan Resolusi Konflik di Indonesia”, in a seminar organized by Kantata Research Indonesia Jakarta 10 March 2007
· “61 Tahun Pemilu dan Parlemen di Indonesia”, in a seminar organized by UNDP and Lembaga Kajian Pembangunan Nasional, University of Indonesia, 14 March 2007.
· “Konsolidasi Demokrasi, Politik Identitas dan Integrasi Nasional”, in a seminar organized by Pusat Studi Islam dan kemasyarakatan (PSIK) Paramadina, Uhamka 21 March 2007.
· “Isu Intermestik dan Politik Luar Negeri”in a seminar, “Resolusi 1747 DK PBB dan Interpelasi DPR RI”, organized by Department of International Relations, Paramadina University, Jakarta 11 April 2007.
· “Tragedi Lumpur Sidoarjo dan Kepemimpinan Politik”, in seminar “Tragedi Lumpur Sidoarjo”, organized by The Lead Institute, Jakarta 30 April 2007.
· “Pemimpin dan Reformasi Birokrasi”, in a Press Conference organized by the Lead Institute dan IndoBarometer, Jakarta, 23 April 2007.
· “Pemimpin Visioner: Harapan Publik Indonesia tentang Kepemimpinan Nasional”, a press conference on the result of the national survey conducted by the Lead Institute dan Indobarometer, 15 June 2007.
· “Pilkada, Parpol dan Demokratisasi”, in a seminar organized by Kelompok Pemuda dan Mahasiswa untuk Demokrasi (KPMD), Bekasi 8 August 2007.


2. International


· Political Parties & Factionalism; a paper presented at the Department of Asian Studies, Flinders University, October 2002.
· Political Parties & The 2004 Election , a paper presented at the seminar organized by PPIA Melbourne, July 2003
· Islamic Parties & 2004 Election: a paper presented at the Conference on Islam & Democracy, Mount Beauty, Victoria July 2003.
· Political Parties & Factionalism, a paper presented at the Indonesia Council Open Conference, Canberra October 2003.
· The Theater of Politics: Actors, Parties & Democratization in Post-Authoritarian Indonesia, a paper presented at The 2nd Indonesia Next Conference, Canberra 13 May 2005.
· The Institutionalization Dilemma, a paper presented at the ASAA Conference 27 June 2006, University of Wolongong.
· Old Wine in a New Bottle: Factionalism and Democratisation in Golkar Indonesia, a paper presented at the Graduate Forum of Asian Studies, University of Melbourne 28 July 2006.
· The Politics of Party Entreprenuer, a paper presented at the seminar organized by the Indonesian Student Association branch Victoria, Melbourne, 16 August 2006
· The Invisible Hands: Party Leadership in Post-authoritarian Indonesia, a paper presented at the Indonesian Studies Group (ISG), Canberra, 22 August 2006.
· Australia and Indonesia: From Neighbour to Partner, a paper presented at the National President’s Forum, an international conference, organized by the Australian Institute for International Affair (AIIA), Brisbane June 2007

Workshops/Training

I have participated in numerous workshops and trainings organized by many NGO’s and Universities as trainer, moderator and facilitator which related to the issue of Leadership, political capacity, democratization as well as training for academic purposes. It also included a preparation of relevant module and syllabus.

· “Democracy for Beginners”: Leadership Training for the Association of Muhammadiyah Youth (IRM), Bandung, 1998, (trainer)
· Workshops on “Building a Strong Local Civil Society: held by Parahyangan Centre for International Studies, in cooperation with the British Council, October 2000. (facilitator)
· “Students and Politics”, leadership training for the Indonesian Student Association of Australia, 2002-2006, (trainer).
· “Beyond Elections: Islam and Political Parties in Southeast Asia, a regional congress of Democrats from the Islamic World, organized by the National Democratic Institute (NDI) and Konrad Adenauer Stiftung (KAS), September 6-9, 2005 (moderator).
· “It’s a PhD not a Nobel Prize!, academic training for writing dissertation, Paramadina University 2006 (trainer).
· “Domestic Politics and Foreign Policy,” a compulsory course for middle level diplomat, Department of Foreign Affair, Republic Indonesia, 2007 (trainer)
· The Problem of Party Financing in Indonesia”, stakeholders and expert meetings, workshops organized by Partnership for Governance Reform (facilitator).
· Muslim Women in Politics, a sub regional conference organized by FES and Lead Institute, Jakarta 29-31 May 2007 (moderator, organizer and facilitator)
· “Problematika Partai Politik”, a leadership training organized by Islamic Student Association (PB HMI), June 2 2007
· “Party System and Election”, Political Capacity Building for party activists, NGO’s and mass organization in Banda Aceh, August 19 2007. Organized by DEMOS (trainer)
· “Political Communication”, Political Capacity Building for party activists, NGO’s and mass organization in Banda Aceh, August 20, 2007. Organized by DEMOS (trainer).


Research Project

· “Indonesian Foreign Policy towards the Settlement of Disputes in South China Sea , Graduate thesis, Parahyangan University 1996.
· “The Indonesian Students Movements in 1998 (Research project/ Minor Thesis for master degree, Monash University 1998).
· “The Disintegration of Indonesia: Challenge and Possibility, research paper at the Department of Development Studies, Monash University March-June 1997
· “Indonesia in Transition: A Strong Civil Society or Disunity. research paper at the Department of Development Studies, Monash University August – November 1997
· “Islam, State & Society in Indonesia’s New Order. Research Paper at the Department of Development Studies, Monash University, March-June 1998.
· “The Principle of non-interference in domestic affairs: Reason for the Flexible engagement and the impact of the Possible Flexibility on the Longevity of Asean”, a joint research with the Ministry of Foreign Affairs, the Republic of Indonesia. 1998
· “Anticipating The United States’ Hegemony in Asia: Indonesia’s Respond, a joint research with the Ministry of Foreign Affairs, the Republic of Indonesia 1998
· “Menggagas Ulang Lembaga Kepresidenan”, Research Project, Centre for Presidential and Parliamentary Studies (CPPS) Paramadina, funded by Partnership and Governance Reform UNDP, 2001-2002.
· “The Analysis of Campaign Method for Individual Candidates in 2004 Election”, completed in November 2004.
· “Business and Politics in 2004 election”, Individual Research Project, 2005.
· Beyond Formal Politics: Party Factionalism and Leadership in Post-Authoritarian Indonesia, dissertation for PhD degree, The Australian National University 2006
· Countries at Cross Road 2006, Freedom House Annual Report, Country Report for Indonesia (as a research assistant for Dr Edward Aspinal).
· “The Analysis of District Magnitude in 2004 Election and its Impact to Party’s Electoral strength in 2009 election”, February-June 2007.
· “The Performance of the Directorate of Public Diplomacy, Department of Foreign Affair”, ongoing Research Project since September 2007

Articles

· “Quo Vadis Pemuda Indonesia, PPIA Magazine, Melbourne June 1997
· “Masalah Narkoba di Kota Bandung“, Pikiran Rakyat, May 2000
· “Kontroversi Pemilu Amerika, Pikiran Rakyat, 16 November 2000
· “Menuju Institutionalisasi Politik” Kompas 11 January 2001
· “Dimensi Internasional Institusionalisasi Politik Domestik” Kompas 29 January 2002.
· ”Lima Tahun Reformasi: Masih Adakah Optimisme? www.ppi-australia.org 2002
· “Menyelamatkan Transisi”, Sinar Harapan: January 2002.
· “Partai Politik dan Faksionalisme, Kompas 13 September 2002.
· “Indonesia, Australia & Tragedi Bali, Sinar Harapan 16 Oktober 2002
· “Mengamati Aksi ASIO”, Sinar Harapan 6 November 2002
· “Partai Politik dan Hukum Besi Oligarki” Republika September 2003.
· “Amien Rais, Mau Kemana ? ‘Koran Tempo 19/08/04.
· ‘Paradoks Demokrasi Indonesia’ www.ppi-australia.org 2005
· ”Karikatur Politik dan Politik Karikatur’ , Republika 06/04/06
· ‘Rekontekstualisasi Partai-partai Islam’, ABADI Januari 2007.
· ‘Dilema Proporsional Terbuka Murni’, Harian Jurnal Nasional 8 Maret 2007
· ‘Konsolidasi Demokrasi’, Media Indonesia, 9 April 2007.
· ‘Indonesia and Australia : Towards a Better Ties’ , the Jakarta Post July 12 2007


Journals/Books

· “Nationalisme: Antara Universalisme and Partikularisme, Journal Universitas Paramadina Agustus 2001.
· “ Demokratisasi Diplomacy, Journal Universitas Paramadina.
· “Amandemen UUD 1945” : ANALISIS CSIS, 2002.
· ‘Political Bussiness’ Inside Indonesia Magazine July 2006.
· Pengantar pada buku Berpijak Diatas Bara, Kegamangan Politik TNI di Masa Transisi, oleh Muradi, 2005, Unpad Press.
· “Kepemimpinan Politik dalam Tragedi Lumpur Sidoarjo” dalam buku, “Lumpur Panas Sidoarjo, Kerikil dalam Sepatu SBY-Kalla, Muradi dkk, Pusat Studi Keamanan Nasional Universitas Padjajaran 2007


Published Interview

· Kompas 23 Desember 2006, Sosok dan Pemikiran, Bima Arya Sugiarto: Partai Politik Gagal lahirkan Tokoh Nasional
· Tablod PARLE, No 102, 20-27 Agustus 2007, Laporan Utama: Kunjungan Shinzo Abe Sangat Strategis.
· www.perspektifbaru.com Edisi 577 2 April 2007, Bima Arya Sugiarto: Parpol Harus Perbaiki Diri